kimia-campur

Rabu, 23 Juni 2010

Sekuensing

Dalam genetika dan biokimia, sekuensing berarti penentuan struktur primer (atau sekuens primer) rantai biopolimer tak bercabang. Sekuensing menghasilkan penggambaran linear simbolik yang disebut sekuens yang meringkas sebagian besar struktur tingkat atom atas molekul yang di-sekuensing. Sebagai contoh, sekuensing DNA akan menghasilkan sekuens DNA yang digambarkan sebagai untaian abjad lambang nukleotida-nukleotida penyusun DNA, yaitu "A" (nukleotida berbasa adenin), "T" (nukleotida berbasa timin), "G" (nukleotida berbasa guanin), dan "C" (nukleotida berbasa sitosin).

1. Sekuensing DNA dan RNA
Sekuensing asam nukleat adalah proses penentuan urutan nukleotida pada suatu fragmen DNA atau RNA. Penentuan sekuens RNA biasanya dilakukan dengan melakukan sekuensing terhadap DNA cetakannya. Dewasa ini, hampir semua usaha sekuensing DNA dilakukan dengan menggunakan metode terminasi rantai yang dikembangkan oleh Frederick Sanger dan rekan-rekannya. Teknik tersebut melibatkan terminasi atau penghentian reaksi sintesis DNA in vitro yang spesifik untuk sekuens tertentu menggunakan substrat nukleotida yang telah dimodifikasi.

Sekuensing DNA
Dewasa ini, hampir semua usaha sekuensing DNA dilakukan dengan menggunakan metode terminasi rantai yang dikembangkan oleh Frederick Sanger dan rekan-rekannya. Teknik tersebut melibatkan terminasi atau penghentian reaksi sintesis DNA in vitro yang spesifik untuk sekuens tertentu menggunakan substrat nukleotida yang telah dimodifikasi.

Metode Sanger

Pada metode terminasi rantai (metode Sanger), perpanjangan atau ekstensi rantai DNA dimulai pada situs spesifik pada DNA cetakan dengan menggunakan oligonukleotida pendek yang disebut primer yang komplementer terhadap DNA pada daerah situs tersebut. Primer tersebut diperpanjang menggunakan DNA polimerase, enzim yang mereplikasi DNA. Bersama dengan primer dan DNA polimerase, diikutsertakan pula empat jenis basa deoksinukleotida (satuan pembentuk DNA), juga nukleotida pemutus atau penghenti rantai (terminator rantai) dalam konsentrasi rendah (biasanya di-deoksinukleotida). Penggabungan nukleotida pemutus rantai tersebut secara terbatas kepada rantai DNA oleh polimerase DNA menghasilkan fragmen-fragmen DNA yang berhenti bertumbuh hanya pada posisi pada DNA tempat nukleotida tertentu tersebut tergabungkan. Fragmen-fragmen DNA tersebut lalu dipisahkan menurut ukurannya dengan elektroforesis gel poliakrilamida, atau sekarang semakin lazim dengan elektroforesis menggunakan tabung gelas berjari-jari kecil (pipa kapiler) yang diisi dengan polimer kental.

Seiring dengan perkembangannya, kini terdapat beberapa macam metode sekuensing terminasi rantai yang berbeda satu sama lain terutama dalam hal pendeteksian fragmen DNA hasil reaksi sekuensing.

Metode Sanger asli
Pada metode yang asli, urutan nukleotida DNA tertentu dapat disimpulkan dengan membuat secara paralel empat reaksi perpanjangan rantai menggunakan salah satu dari empat jenis basa pemutus rantai pada masing-masing reaksi. Fragmen-fragmen DNA yang kemudian terbentuk dideteksi dengan menandai (labelling) primer yang digunakan dengan fosfor radioaktif sebelum reaksi sekuensing dilangsungkan. Keempat hasil reaksi tersebut kemudian dielektroforesis pada empat lajur yang saling bersebelahan pada gel poliakrilamida. Hasil pengembangan metode ini menggunakan empat macam primer yang ditandai dengan pewarna berpendar (fluorescent dye). Hal ini memiliki kelebihan karena tidak menggunakan bahan radioaktif; selain menambah keamanan dan kecepatan, keempat hasil reaksi dapat dicampur dan dielektroforesis pada satu lajur pada gel. Metode ini dikenal sebagai metode dye primer sequencing.

Cara lain pelabelan primer adalah dengan melabel pemutus rantainya, lazim disebut metode sekuensing dye terminator. Keunggulan cara ini adalah bahwa seluruh proses sekuensing dapat dilakukan dalam satu reaksi, dibandingkan dengan empat reaksi terpisah yang diperlukan pada penggunaan primer berlabel. Pada cara tersebut, masing-masing dideoksinukleotida pemutus rantai ditandai dengan pewarna fluoresens, yang berpendar pada panjang gelombang yang berbeda-beda. Cara ini lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan penggunaan primer berwarna, namun dapat menimbulkan ketidaksamaan tinggi kurva atau puncak (peak) yang disebabkan oleh ketidaksamaan penggabungan pemutus rantai berwarna berukuran besar pada pertumbuhan DNA (ketidaksamaan tersebut bergantung pada DNA cetakan). Masalah tersebut telah dapat dikurangi secara nyata dengan penggunaan macam-macam enzim dan pewarna baru yang meminimalkan perbedaan dalam penggabungan.
Metode ini kini digunakan pada sebagian besar usaha reaksi sekuensing karena lebih sederhana dan lebih murah. Primer-primer yang digunakan tidak perlu dilabel secara terpisah (yang bisa jadi cukup mahal untuk primer yang dibuat untuk sekali pakai), walaupun hal tersebut tidak terlalu bermasalah dalam penggunaan universal primer.

Automatisasi dan penyiapan sampel
Mesin sekuensing DNA automatis modern mampu mengurutkan 384 sampel berlabel fluoresens sekaligus dalam sekali batch (elektroforesis) yang dapat dilakukan sampai 24 kali sehari. Hal tersebut hanya mencakup proses pemisahan dan proses pembacaan kurva; reaksi sekuensing, pembersihan, dan pelarutan ulang dalam larutan penyangga yang sesuai harus dilakukan secara terpisah.

Untuk memperoleh hasil reaksi berlabel yang dapat dideteksi dari DNA cetakan, metode "sekuensing daur" (cycle sequencing) paling lazim dilakukan. Dalam metode ini dilakukan berturut-turut penempelan primer (primer annealing), ekstensi oleh polimerase DNA, dan denaturasi (peleburan atau melting) untai-untai DNA cetakan secara berulang-ulang (25–40 putaran). Kelebihan utama sekuensing daur adalah lebih efisiennya penggunaan pereaksi sekuensing yang mahal (BigDye) dan mampunya mengurutkan templat dengan struktur sekunder tertentu seperti hairpin loop atau daerah kaya-GC. Setiap tahap pada sekuensing daur ditempuh dengan mengubah temperatur reaksi menggunakan mesin pendaur panas (thermal cycler) PCR. Cara tersebut didasarkan pada fakta bahwa dua untai DNA yang komplementer akan saling menempel (berhibridisasi) pada temperatur rendah dan berpisah (terdenaturasi) pada temperatur tinggi. Hal penting lain yang memungkinkan cara tersebut adalah penggunaan enzim DNA polimerase dari organisme termofilik (organisme yang hidup di lingkungan bertemperatur tinggi), yang tidak mudah terurai pada temperatur tinggi yang digunakan pada cara tersebut (>95°C).

Metode Maxam-Gilbert
Pada waktu yang kira-kira hampir bersamaan dengan dikenalkannya metode sekuensing Sanger, Maxam dan Gilbert mengembangkan metode sekuensing DNA yang didasarkan pada modifikasi kimiawi DNA yang dilanjutkan dengan pemotongan DNA [2]. Metode ini mulanya cukup populer karena dapat langsung menggunakan DNA hasil pemurnian, sedangkan metode Sanger pada waktu itu memerlukan kloning untuk membentuk DNA untai tunggal. Seiring dengan dikembangkannya metode terminasi rantai, metode sekuensing Maxam-Gilbert menjadi tidak populer karena kerumitan teknisnya, digunakannya bahan kimia berbahaya, dan kesulitan dalam scale-up.

Sekuensing DNA skala besar
Metode sekuensing DNA yang kini ada hanya dapat merunut sepotong pendek DNA sekaligus. Contohnya, mesin sekuensing modern yang menggunakan metode Sanger hanya dapat mencakup paling banyak sekitar 1000 pasang basa setiap sekuensing. Keterbatasan ini disebabkan oleh probabilitas terminasi rantai yang menurun secara geometris seiring dengan bertambahnya panjang rantai, selain keterbatasan fisik ukuran dan resolusi gel.

Sekuens DNA dengan ukuran jauh lebih besar kerap kali dibutuhkan. Sebagai contoh, genom bakteri sederhana dapat mengandung jutaan pasang basa, sedangkan genom manusia terdiri atas lebih dari 3 milyar pasang basa. Berbagai strategi telah dikembangkan untuk sekuensing DNA skala besar, termasuk strategi primer walking dan shotgun sequencing. Kedua strategi tersebut melibatkan pembacaan banyak bagian DNA dengan metode Sanger dan selanjutnya menyusun hasil pembacaan tersebut menjadi sekuens yang runut. Masing-masing strategi memiliki kelemahan sendiri dalam hal kecepatan dan ketepatan; sebagai contoh, metode shotgun sequencing merupakan metode yang paling praktis untuk sekuensing genom ukuran besar, namun proses penyusunannya rumit dan rentan kesalahan.

Data sekuens bermutu tinggi lebih mudah didapatkan bila DNA bersangkutan dimurnikan dari pencemar yang mungkin terdapat pada sampel dan diamplifikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan metode reaksi berantai polimerase bila primer yang dibutuhkan untuk mencakup seluruh daerah yang diinginkan cukup praktis dibuat. Cara lainnya adalah dengan kloning DNA sampel menggunakan vektor bakteri, yaitu memanfaatkan bakteri untuk "menumbuhkan" salinan DNA yang diinginkan sebanyak beberapa ribu pasang basa sekaligus. Biasanya proyek-proyek sekuensing DNA skala besar memiliki persediaan pustaka hasil kloning semacam itu.

Sekuensing RNA
RNA lebih tidak stabil daripada DNA di dalam sel dan lebih rentan terhadap penguraian oleh enzim nuklease secara laboratorium. Seperti yang telah disebutkan di atas, kadang kala sekuensing RNA diperlukan walaupun informasi yang dikandung RNA sudah terdapat di dalam DNA, khususnya pada eukaryota. Dalam sekuensing RNA, metode yang umum digunakan adalah mula-mula membentuk fragmen DNA dari RNA tersebut dengan enzim transkriptase balik. Misalnya, DNA dapat disintesis dari cetakan mRNA dan disebut sebagai DNA komplementer (cDNA). Fragmen DNA tersebut kemudian dapat disekuensing dengan cara-cara seperti yang disebutkan di atas.




Kegunaan sekuensing asam nukleat
Sekuens DNA menyandikan informasi yang diperlukan bagi makhluk hidup untuk melangsungkan hidup dan berkembang biak. Dengan demikian, penentuan sekuens DNA berguna di dalam ilmu pengetahuan 'murni' mengenai mengapa dan bagaimana makhluk hidup dapat hidup, selain berguna dalam penerapan praktis. Karena DNA merupakan ciri kunci makhluk hidup, pengetahuan akan sekuens DNA dapat berguna dalam penelitian biologi manapun. Sebagai contoh, dalam ilmu pengobatan sekuensing DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mendiagnosis, dan mengembangkan pengobatan penyakit genetik. Demikian pula halnya, penelitian pada agen penyebab penyakit (patogen) dapat membuka jalan bagi pengobatan penyakit menular. Bioteknologi, yang dapat pula memanfaatkan sekuensing DNA, merupakan bidang yang berkembang pesat dan berpotensi menghasilkan banyak barang dan jasa berguna.

Karena RNA dibentuk dengan transkripsi dari DNA, informasi yang dikandung RNA juga terdapat di dalam DNA cetakannya sehingga sekuensing DNA cetakan tersebut sudah cukup untuk membaca informasi pada RNA. Namun demikian, sekuensing RNA dibutuhkan khususnya pada eukaryota, karena molekul RNA eukaryot tidak selalu sebanding dengan DNA cetakannya karena pemotongan intron setelah proses transkripsi.


2. Sekuensing Protein
Sekuensing protein atau sekuensing peptida adalah penentuan urutan asam amino pada suatu protein atau peptida (oligopeptida maupun polipeptida). Metode untuk sekuensing protein umumnya melibatkan pemutusan ikatan yang diikuti dengan identifikasi asam amino.

Pada metode degradasi Edman, residu pada ujung-N (ujung amino) protein dipotong satu per satu dengan reaksi kimia. Setelah setiap pemotongan, residu asam amino yang telah dipotong tersebut dapat diidentifikasi menggunakan kromatografi. Prosedur tersebut diulangi untuk setiap residu asam amino. Kelemahan metode ini adalah bahwa polipeptida yang di-sekuensing tidak dapat lebih panjang dari 50–60 residu (dapat disiasati dengan memotong-motong polipeptida berukuran besar menjadi peptida-peptida berukuran lebih kecil sebelum dilakukan reaksi).

Metode sekuensing protein yang lain memanfaatkan spektrometri massa yang mampu mengukur massa peptida dengan tepat. Protein yang hendak di-sekuensing dipotong-potong secara enzimatik maupun kimia menjadi peptida-peptida yang kemudian dianalisis menggunakan spektrometri massa. Dalam proses spektrometri massa, peptida-peptida tersebut dipecah secara ionisasi, misalnya dengan bantuan laser pada metode matrix-assisted laser desorption ionization-time-of-flight spectrometry (spektrometri "ionisasi desorpsi laser dengan bantuan matriks"-"waktu terbang"/MALDI-TOF), kemudian ion-ion residu yang dihasilkan ditentukan massanya. Pada metode peptide mass fingerprinting ("penyidikjarian massa peptida"), data massa fragmen-fragmen peptida tersebut dianalisis secara bioinformatika dengan rujukan basis data besar asam nukleat untuk menentukan sekuens protein asalnya (secara statistika berdasarkan data asam nukleat pada basis data tersebut). Selain itu, sekuens protein juga dapat ditentukan langsung dengan spektrometri massa pada metode tandem mass spectrometry ("spektrometri massa tandem").

Jika gen penyandi suatu protein dapat diidentifikasi, saat ini jauh lebih mudah melakukan sekuensing DNA dari gen tersebut dan menentukan sekuens proteinnya dari sekuens DNA itu dibandingkan dengan harus melakukan sekuensing terhadap protein itu sendiri. Sebaliknya, penentuan sebagian sekuens asam amino suatu protein (biasanya dari salah satu ujung rantai proteinnya) dapat memungkinkan identifikasi klon pembawa gen tersebut.


3. Sekuensing Polisakarida
Walaupun polisakarida juga merupakan biopolimer (yang termasuk dalam karbohidrat dengan monomer monosakarida), tidaklah lazim untuk melakukan 'sekuensing' polisakarida, karena beberapa alasan. Walaupun banyak polisakarida yang berstruktur rantai lurus, banyak pula yang berstruktur bercabang. Terdapat banyak sekali jenis monosakarida yang dapat menyusun polisakarida dengan banyak macam cara ikatan kimia pula. Selain itu, alasan teoretis utama ketidaklaziman sekuensing polisakarida adalah bahwa masing-masing polimer lain yang disebutkan di atas secara umum dibentuk oleh satu jenis enzim berdasarkan 'cetakan' tertentu, sedangkan satu penggabungan monomer pada polisakarida dapat dibentuk oleh berbagai jenis enzim. Sering kali pembentukan ikatan polimer polisakarida tidaklah spesifik; bergantung pada enzim yang beraksi, satu dari beberapa jenis monomer dapat digabungkan. Hal ini dapat mengakibatkan terbentuknya sekelompok molekul yang mirip satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar